Judul : Kisah Pengungsi Terombang-ambing di Lautan Jadi Bos Uber
link : Kisah Pengungsi Terombang-ambing di Lautan Jadi Bos Uber
Kisah Pengungsi Terombang-ambing di Lautan Jadi Bos Uber
Jakarta - Segalanya mungkin asal bekerja keras menggapai mimpi dan juga keberuntungan. Itulah yang terjadi pada Thuan Pham yang sekarang adalah Chief Technology Officer di startup terbesar di dunia, Uber. Padahal hidupnya dahulu penuh dengan malapetaka. Tapi banyak keajaiban dialaminya.Waktu itu tahun 1975. Pham dan keluarganya tinggal di Saigon, Vietnam yang dikuasai komunis. Pamannya dikirim ke kamp konsentrasi dan meninggal di sana. Situasi yang tidak kondusif membuat keluarga Pham memutuskan mengungsi dengan kapal, walau nyawa taruhannya.
"Aku, ibu dan adikku pergi di tengah malam. Kami berdesakan dengan 470 pengungsi lain di kapal nelayan dari kayu. Kami berjejalan, semua orang muntah saat kami berangkat," Pham mengisahkan perjalanan hidupnya.
Kapal itu terombang ambing dihantam badai besar, seakan mau tenggelam. "Kami secara ajaib bertahan di badai besar. Ombak sangat tinggi menghajar kapal kami. Kami ingin tetap hidup," kisahnya.
Di tengah kekacauan itu, ada kapal lain menghampiri yang mereka kira penyelamat. Semua riang gembira sampai akhirnya mereka tahu, itu adalah kapal perompak. Semua barang mereka dilucuti. Mereka masih bersyukur karena dibiarkan tetap hidup.
Pada suatu malam, mereka kemudian melihat daratan di Malaysia. Para pengungsi malang itu kemudian dibawa oleh militer ke kamp pengungsi. Namun seminggu kemudian, mereka diusir kembali ke lautan.
Sempat mendarat di Singapura, mereka akhirnya sampai di daratan Indonesia. "Akhirnya kami mendarat di Indonesia. Kami dirawat cukup baik di sana. Namun kemudian kami dibawa ke pulau Kuku di Singapura," kisah Pham.
Pulau tersebut ditujukan untuk menampung pengungsi. Namun kala itu, belum ada infrastruktur di sana. Banyak pengungsi mati karena penyakit, sanitasinya sangat buruk. Pham tinggal di sana selama 10 bulan.
Organisasi seperti UNHCR dan Feed the Children akhirnya mengirim bantuan, berupa makanan dan obat-obatan. Akhirnya kabar gembira pun datang bagi Pham dan keluarganya. Karena sang ayah adalah tentara yang ikut membantu AS, Pham lolos menjadi pengungsi yang akan ditampung oleh Amerika Serikat.
"Ayahku sendiri tetap tinggal di Vietnam. Ketika kami pergi dari sana, itulah saat terakhir aku melihatnya," ujar Pham dengan nada sedih.
"Kami tiba di Amerika dengan pesawat dan kami direlokasi di Rockville, Maryland. Ada komunitas pengungsi di sana. Kami saling membantu untuk bertahan," demikian kisahnya.
Perjuangan di Amerika
Setelah selamat dari beragam marabahaya, Pham dan keluarganya berhasil menemukan harapan baru. Mereka ditampung Amerika Serikat di Rockville, Maryland.
"Ibuku kemudian bekerja di pompa bensin dan di toko kelontong. Dia adalah akuntan di Vietnam, namun karena bahasa Inggrisnya buruk, dia gagal mendapat sertifikasi di AS," cerita Pham yang dikutip detikINET dari CNN.
|
"Karena dia bekerja begitu keras, aku jarang melihatnya sehari-hari. Aku harus mengurus adikku, membawanya ke dokter atau sekolah. Aku harus menjadi dewasa," kisahnya.
Di AS, Pham, ibu dan adiknya tinggal di apartemen yang ongkos sewanya USD 370 per bulan. Mereka tinggal bersama keluarga lain di sana. "Apartemen itu kotor, penuh kecoa. Di luar dingin, tapi di dalam panas seperti sauna. Begitulah kami dulu hidup," ujar Pham.
Di tengah suasana serba kekurangan, Pham belajar keras agar sukses di sekolahnya. Dan dia berhasil diterima di universitas bergengsi, Massachusetts Institute of Technology atau lebih dikenal dengan nama MIT.
Kecintaannya pada dunia teknologi pun makin tumbuh. Salah seorang teman Pham dibelikan komputer oleh ayahnya dan dia sering main di sana untuk membuat program. Sebelum kuliah, ia berhasil membeli komputer IBM sendiri dari hasil kerja kerasnya membantu membuat program akuntansi.
Karena otaknya memang cemerlang dipadu belajar keras, Pham langsung diterima bekerja di Hewlett Packard setelah lulus dari MIT. Tiga tahun di sana, ia keluar ke perusahaan bernama Silicon Graphics yang didirikan pembuat Netscape, Jim Clark.
"Itu adalah keputusan signifikan, tapi ibuku tak setuju. Ia pikir aku sembarangan. Menurutnya aku harus bertahan membangun karir bagus di perusahaan mapan seperti HP dan pensiun setelah 30 tahun di sana," ia melanjutkan.
Ia kembali pindah ke perusahaan bernama NetGravity. Di masa inilah, Pham berhasil membeli rumah sendiri. Karirnya semakin menanjak. Ia menjadi Vice President di raksasa virtualisasi VMWare sebelum direkrut menjadi Chief Technology Officer Uber. Menjadi orang kepercayaan sang CEO, Travis Kalanick.
Kiat Sukses
Perjalanan hidupnya yang penuh warna membuat Pham banyak dimintai nasihat. "Banyak orang mungkin punya skill, tapi pada akhirnya kita perlu membuat kesempatan untuk tampil dan menunjukkan apa yang kita bisa," katanya.
"Ukuran kesuksesanku pada intinya adalah, apakah hidupku sudah berarti? Apakah aku sudah melakukan apapun yang aku bisa dengan waktuku di bumi? Apa satu hal yang bisa kulakukan tiap hari yang membantuku untuk mencapai impianku?" lanjut Pham.
"Aku berefleksi. Aku berpikir tentang apa yang terjadi tiap hari dan bertanya, apakah aku sudah melakukan yang terbaik? Tapi aku hampir selalu berkata, aku bisa melakukannya dengan lebih baik lagi," pungkasnya. (fyk/fyk)
from inet.detik http://ift.tt/2fDAUIB
via IFTTT
Demikianlah Artikel Kisah Pengungsi Terombang-ambing di Lautan Jadi Bos Uber
Anda sekarang membaca artikel Kisah Pengungsi Terombang-ambing di Lautan Jadi Bos Uber dengan alamat link https://berita-sekarang-indo.blogspot.com/2017/08/kisah-pengungsi-terombang-ambing-di.html
0 Response to "Kisah Pengungsi Terombang-ambing di Lautan Jadi Bos Uber"
Post a Comment